Sudah menjadi jadwal harian anak-anak kelas sholat zuhur berjamaah di mesjid. Namun, entah kenapa kali ini beberapa anak perempuan menolak berangkat dan menunjukkan demonya dengan tetap bertahan di kelas. Meski sudah azan mereka tidak peduli dan tetap melanjutkan bermain.
Saya, hanya mengamati mereka dengan sesekali mengingatkan sudah azan. Tak banyak kata perintah yang saya ujarkan. Pun ketika iqomat, mereka pun mengabaikannya. Maka, mulailah saya mengajak mereka berbincang. Tak ada omelan, makian, atau nada tinggi. Saya gunakan intonasi dan suara yang ramah pada mereka.
Memang obrolan menjadi alot, wajar, karena kita sedang berdiskusi bukan saling memerintah. Pun, anak-anak kelas 4 sudah pandai berargumen dengan banyaknya ragam stok kosa kata mereka. Meski demikian, intonasi dan suara saya tidak berubah, tetap ramah bahkan lebih ramah.
5 menit setelah iqomat. Sudah tentu mereka pun akan masbuq. Tak masalah bagi saya, karena tujuan utamanya yakni mereka menuju mesjid sebagaimana teman-temannya yang lain.
Awal perbincangan banyak penolakan yang dilontarkan, namun seiring waktu obrolan itu berakhir dengan voting mereka yang akan menjadi imam. Imam masbuq maksudnya. Dan sejurus kemudian mereka pun menuju mesjid, sholat dengan jamaah baru yang mereka buay sendiri.
Saya, menahan senyum melihat mereka.
Yang jelas saya paham bukan karena tak mau sholat di mesjid, hanya saja mereka masih ingin menyelesaikan permainanya sebelum akhirnya mereka menunaikan kewajiban sholat zuhurnya di mesjid.
Dalam proses penerapan teknik komunikasi ini, hal yang paling keliatan untuk saya adalah bahwa anak bergerak dengan kesadarannya, bukan ketakutannya pada orang dewasa. Memang prosesnya akan lama, tapi saya nyaman melakukannya, karena yang utama bagi saya bukanlah ketaatan mereka karena takut, namun ketaatan mereka atas fitrah anak-anaknya...
Saya, hanya mengamati mereka dengan sesekali mengingatkan sudah azan. Tak banyak kata perintah yang saya ujarkan. Pun ketika iqomat, mereka pun mengabaikannya. Maka, mulailah saya mengajak mereka berbincang. Tak ada omelan, makian, atau nada tinggi. Saya gunakan intonasi dan suara yang ramah pada mereka.
Memang obrolan menjadi alot, wajar, karena kita sedang berdiskusi bukan saling memerintah. Pun, anak-anak kelas 4 sudah pandai berargumen dengan banyaknya ragam stok kosa kata mereka. Meski demikian, intonasi dan suara saya tidak berubah, tetap ramah bahkan lebih ramah.
5 menit setelah iqomat. Sudah tentu mereka pun akan masbuq. Tak masalah bagi saya, karena tujuan utamanya yakni mereka menuju mesjid sebagaimana teman-temannya yang lain.
Awal perbincangan banyak penolakan yang dilontarkan, namun seiring waktu obrolan itu berakhir dengan voting mereka yang akan menjadi imam. Imam masbuq maksudnya. Dan sejurus kemudian mereka pun menuju mesjid, sholat dengan jamaah baru yang mereka buay sendiri.
Saya, menahan senyum melihat mereka.
Yang jelas saya paham bukan karena tak mau sholat di mesjid, hanya saja mereka masih ingin menyelesaikan permainanya sebelum akhirnya mereka menunaikan kewajiban sholat zuhurnya di mesjid.
Dalam proses penerapan teknik komunikasi ini, hal yang paling keliatan untuk saya adalah bahwa anak bergerak dengan kesadarannya, bukan ketakutannya pada orang dewasa. Memang prosesnya akan lama, tapi saya nyaman melakukannya, karena yang utama bagi saya bukanlah ketaatan mereka karena takut, namun ketaatan mereka atas fitrah anak-anaknya...
#level1
#day8
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar