Dunia anak-anak tidak terlepas dari bermain, bahkan di seluruh pikirannya adalah tentang bermain. Namun, bagi kita yang dewasa bermain pun ada waktu dan batasnya, sehingga dibuatlah aturan dan konsekuensi dalam bermain.
Bersama anak-anak murid, kami memiliki aturan hanya hari Jumatlah diperbolehkan membawa mainan ke kelas. Membawa di luar hari tersebut, maka mainan akan disita.
Namun di hari Kamis mereka membawa mainan ke kelas, tanpa izin dan di waktu harusnya ujian, saya kaget luar biasa mereka bermain dengan ragam jenis mainan yang dibawa dari rumah, dan ini berlangsung sejak pagi sebelum kelas dimulai.
Marah, tentu saja. Saya merasa tak dihargai dengan kesepakatan yang telah kami buat. Namun, sesuai dengan teknik komunikasi produktif maka saya biarkan dahulu mereka main hingga jam belajar tuntas. Hal ini juga menghindari saya mengeluarkan nada tinggi yang tidak seharusnya pada mereka.
Sebelum jam kepulangan, saya kumpulkan semua anak. Berdiskusi tentang kesepakatan yang ada.
Diskusi itu berakhir dengan mereka memberikan semua mainan pada saya dan meminta maaf. Tiada nada tinggi maupun intonasi amarah. Namun, akhirnya mereka paham dengan kesalahan yang ada.
Dari pengalaman ini, hal menarik yang saya pahami adalah tidak selamanya emosi menyelesaikan masalah, malah menambah beban jiwa kita saja. Menguras tenaga dan merusak psikis anak. Maka saya belajar bahwa anak-anak bisa diajak koperatif asal menggunakan marah yang elegan yakni dengan nada, intonasi, dan waktu yang tepat.
Sehingga kini saya semakin yakin bahwa meluapkan emosi dengan nada dan intonasi tinggi bukanlah satu-satunya solusi mengubah perilaku anak. Jadi, saya pun merubah diri sebagai pribadi yang juga menggunakan perasaan dalam meluapkan emosi pada anak.
#level1
#day1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
kereeen...dan ini hanya terjadi ketika kita benar-,benar serius mempraktikkannya...
BalasHapus