Langsung ke konten utama

Ketika jilbab hanya menjadi sekedar

Baru beberapa hari ini saya menyelesaikan membaca "gara-gara jilbabku"-nya mba asma nadia. Membacanya membuat pikiran saya melanglang jauh, antara keheranan dan ketidakpercayaan. Pasalnya, itu adalah buku kumpulan essay pengalaman tentang perjalanan berjilbab mereka (kumpulan penulis perempuan), mengapa saya katakan heran juga terbesit ketidak percayaan? Karena tentu yang pertama saya tidak mengalami perjalanan berjilbab sebegitu sulit seperti mereka yang melalu jalan panjang nan penuh pengorbanan.


Hal serupa tergambar pula ketika membaca "jilbab pertamaku" dengan genre yang sama. Namun buku kedua yang sebut tadi, itu jauh lebih membuat saya terkagum-kagum karena lebih terasa rasa perjuangannya yang lebih berat, meskipun pada dasarnya di buku yang pertama pun sama.

Saya agak tercenung, begitu sulitnya ternyata bagi seorang perempuan dalam mengazzamkan hatinya yang memutuskan tuk berjilbab (busana muslimah) dalam merealisasikannya dalam tindakan nyata, ketika azzam itu harus terbentur dengan larangan orang tua, cemoohan masyarakat dan teman, serta dikucilkan dari lingkungan. Dan ini memang benar adanya terjadi dalam sebagian muslimah. Apalagi perjuangan itu terasa makin berat ketika ada pelarangan berjilbab di beberapa sekolah pada tahun-tahun lalu.

Subhanallah, hanya 1 kata itu yang terucap dari lisan saya ketika menamatkan cerita yang pada akhirnya saya pun terbuka ruang pikirannya. Ironis memang, ketika saya yang memang telah jelas seorang muslimah berjilbab tidak mempercayai pada apa yg telah saya baca.

Begitulah saya, tak mudah bagi saya tuk mempercayai sesuatu hal yang memang saya belum benar-benar melihat atau merasakan sendiri, tapi tentu dalam hal ini rasanya pilihan yang kedua kurang pas (merasakan) karena memang dari kecil saya hidup dalam lingkungan berjilbab, hingga kini masuk ke universitas yang itu mewajibkan mahasiswinya berjilbab.

Pencerahan itu saya dapatkan suatu ketika sedang mengobrol dengan seorang kawan kuliah saya di stasiun sambil menunggu kereta yang akan menjemput kami. Dan ketika itu dia mengkisahkan dirinya dalam pertama kali perjalanan berjilbabnya yang tentu saja tak jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam buku tersebut.

Sontak saya pun seketika memuji dirinya. Dan seketika itu pula saya percaya bahwa pengalaman dari para penulis dalam 2 buku itu memang benar adanya.

Berakhir sudah perjalanan tanya dalam benak saya. Agak lama memang, namun daripada tidak sama sekali...

Dan kini pikiran saya kembali menerawang kepada era kini, 'ketika jilbab hanya dijadikan sebagai barang sekedar'.
Sekedar menuruti peraturan sekolah/kampus, sekedar mendapat pujian, hingga sekedar pakai...
Tanpa mengindahkan makna dibalik jilbab itu sendiri.

Ketika para pejuang-pejuang jilbab tadi bertaruh tuk mempertahankan kewajibannya kepada Allah Swt, maka sekarang ketika berjilbab telah menjadi suatu kemudahan, maka hanya sebagai sebuah kebiasaan, bahkan mungkin saja ada yang menjadikannya suatu keterpaksaan.

Memang semua itu tergantung dari pribadi masing-masing setiap orang, saya pun tidak bisa asal mengklaim karena saya tidak ada hak untuk itu.

Namun, betapa indahnya ketika kita berjilbab yang dalam hati kita terniatkan 'karena dan untuk Allah'. Karena ketika kita telah menjadikan Allah sandaran hidup kita, maka yang diharapkan adalah hanya kebaikan dan kebaikan.

Ketika kita berbicara karena Allah, maka hanya kan ada kata-kata baik yang terdengar, begitu juga dengan keseluruhan dalam sikap kita.

Membicarakan kata-kata 'sekedar' tentu tidak akan ada habisnya, apalagi yang menjadi sebuah kemarakan saat ini ketika jilbab dikatakan sekedar di bulan ramadhan atau untuk sekedar mode. Maka akan menjadi lebih bermakna ketika judul di atas kita improvisasi menjadi "Berjilbab sekedar untuk Allah(^_^)", sehingga dari kata-kata 'sekedar' yang lebih cenderung bermakna 'konotasi', bisa menjadi 'positif' dengan kata 'Allah' di belakangnya.
Sehingga 'sekedarnya' itu menjadi makna yang diharapkan ada dibalik jilbab yang terjulur, menepis gosip-gosip miring tentang 'muslimah berjilbab' yang katanya sulit ini itu.

Allah selalu memberikan kebaikan dibalik syari'at-Nya.
Rasanya tidak terlalu berlebihan jika jilbab dikatakan sebagai bentuk 'kasih sayang Allah' kepada perempuan. Karena di balik kasih sayang itu terdapat makna jilbab sebenarnya: sebuah perlindungan. Dan dari perlindungan itu akan terbentuk sebuah kemuliaan.

Yang mendasari adanya perlindungan tadi intinya yakni menutup aurat, apalagi ketika hal itu terangkum dalam ayat-ayat cinta-Nya, maka menjadi wajib hukumnya (an-nuur:31, al-ahzab: 59).

Namun hidayah kan hanya Allah yang punya. Tinggal kita yang telah diberikan 'kasih sayang' itu dapat menjadikan butiran-butiran sayang-Nya menjadi lebih optimal.

Semoga pada akhirnya siapa pun kita yang telah berjilbab atau pun belum, selalu memahami makna pentingnya Allah dalam setiap langkah hidup kita. Sehingga jilbab yang telah menghiasi raga kita juga bisa menghiasi hati kita. Sehingga terjadi sebuah sinergi. Jilbab jiwa dan raga...

Indahnya berjilbab...
Seindah pula jilbab yang menghiasi hati kita...

Wallahu a'lam bishowab.


Ketika mentari menyapa,
05 Ramadhan 1430 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan 2: Website penunjang kualitas diri "ibupedia.com"

Hari ini adalah hari belajar tentang per-ASI-an bagi saya. Hal ini tentu saja didasari dengan perubahan status sebagai ibu sejak 22 hari yang lalu. Saran dari banyak orang sering kali beragam, maka diperlukan juga waktu bagi diri untuk mencari referensi sendiri. Maka untuk hari saya dan suami menjadi orang tua pembelajar melalui salah satu website bagi banyak orang tua muda yakni  ibupedia.com .  Website tersebut banyak sekali menyajikan info-info terkait dunia kehamilan dan pengasuhan. Disajikan dengan bahasa ringan dan website yang menarik (karena didominasi warna pastel yang saya suka, he'eh) yang tentu saja sangat berguna bagi para orang tua terutama ibu yang sedang menjalani proses kehamilan, karena bahwasannya ada banyak pengetahuan penting tentang mengurus anak sejak hamil, melahirkan, dan setelahnya. Bagi seorang ibu muda yang baru memiliki anak pertama seperti saya, info-info tersebut sangatlah diperlukan. Bagi yang sudah memiliki anak lebih dari satu pun tetap berguna

Bunda, Dalam Untaian Cahaya...

Ku tatap penuh keletihan pada tubuh paruh baya mu, Ku tatap penuh rindu pada raut wajahmu nan mulai berkerut, ku tatap penuh cinta pada punggung tangan mu yang tiada bosan memperkerjakannya, Ku tatap penuh haru pada jiwa mu yang tersimpan retak-retak kehidupan, Dalam ucap, teruntai setiap kasih Dalam tatap, teruntai setiap cinta Dalam peluh, teruntai setiap keikhlasan Dalam hangat, teruntai setiap pengorbanan Pada fajar, teralir air mata Pada mentari, teriring doa Pada surya, tergapai pengharapan Pada gelap, tersimpan keindahan Dengan rintihan, tergambar kepercayaan Dengan amarah, tersampaikan harapan Dengan kelembutan, tercurahkan kehangatan Dengan air mata, teriring kecintaan "Ungkapan yang terkadang tersembunyikan pada seseorang yang terhebat dalam hidup ini, Ibu, dalam setiap peluh mu, kau ajarkan arti sebuah cinta penuh pengorbanan tanpa balas. Terima kasih untuk mu yang tidak pernah berhenti... Nantikan aku di setiap wujud dalam doa mu... Dengan panuh ketulusan, ku sangat me

Day 8: Bintang dalam diri kita

Masih berlanjut tentang bintang dalam diri kita. Untuk bintang ketiga saya ini adalah bintang yang lebih dahulu bersinar dari yang lainnya, meski pada akhirnya kini menjadi bintang yang paling redup karena tertutupi dengan fokus pada kegiatan harian dan segala projeknya. Padahal, jika ditekuni lebih dalam dan serius, maka mungkin saja bisa menjadi tambahan profesi baru saya. Hand-crafting, ya itulah hal yang dapat membuat saya berbinar-binar jika sedang bersamanya. Proses menemukannya paling unik karena saya sendiri kurang begitu mengingat detailnya. Namun cerita dari banyak keluarga, saya mendapatkan gambaran bahwa saya memang sudah menyenangi hal-hal yang sifatnya membutuhkan keahlian tangan sejak kecil. Sepanjang ingatan saya, pelajaran seni, terutama seni rupa, adalah pelajaran yang selalu paling saya suka sejak sekolah dasar. Maka, tak heran jika usia SD saja saya sudah bisa membuat sapu tangan sulam, bahkan beberapa baju seringkali saya modifikasi sendiri, seringnya adalah m