Langsung ke konten utama

The First Sight of Being Here

Yang namanya anak anak tetap sama dimana pun itu. Sama dalam artian pola tingkah mereka, dan kelas berapa pun itu. Meskipun baru seminggu, saya bisa berkomentar demikian karena sebelumnya saya pernah punya pengalaman mengajar di semua tingkat kelas, dari TK bahkan hingga universitas. Mungkin itulah salah satu rencana lain Allah memberikan amanah saya berada di sini untuk mendapatkan pengalaman dan tantangan yang lain, yakni sebagai native speaker. Sebenarnya saya pun sedikit heran, karena native speaker biasanya datang dari negara berbahasa inggris, namun saya dan teman teman di sini hadir sebagai guru bahasa inggris. Awalnya saya enggan mengatakan diri sebagai native speaker, tapi seiring waktu ternyata ada benarnya juga nama itu, karena hanya bahasa inggris yang bisa kami jadikan alat komunikasi di sini. Belum lagi menghadapi kelas yang kami saling tidak tahu bahasa masing masing. Mereka minim pengalaman berbahasa inggris, kami pun tak paham dengan bahasa thai. Jadilah bahasa tubuh sebagai alat menjembatani komunikasi kami.

Dan semakin ke sini saya semakin paham kenapa memilih Indonesia sebagai guru bahasa inggris. Pertama mungkin karena memanggil guru native speaker langsung dari negara asalnya terlalu mahal (sedangkan sekolah kami bukan tergolong sekolah kelas atas yang berlabel internasional karena ini merupakan sekolah negeri yang tak jauh beda dengan sekolah negeri di Indonesia yang berada di daerah jauh dari ibu kota, tetapi tata letak kelasnya jauh lebih baik di sini, terutama untuk tingkat SD). Yang kedua, mungkin karena kami masih serumpun jadi memerlukan guru yang juga berasal dari sesama lidah. Dan benar saja ternyata, karena kami pun perlu usaha kerasa hanya untuk mengajarkan mengucapkan satu huruf, apalagi mereka yang native (saya membahasakan kami karena di sekolah saya bersama teman dari madura berbagi kelas, dan sebelumnya pun ada guru yang berasal dari ambon). 

Mengajarkan bahasa inggris di sini tidak semudah mengajarkan bahasa inggris di Ina (indonesia), bahkan untuk kelas SMA sekalipun (kata teman saya yang mendapat kelas di SMA, amanah saya untuk tingkat SD dan SMP). Entah karena ini sekolah kampung atau memang mereka kurang dikenalkan dengan bahasa inggris. Tetap yang jelas, berkomunikasi dengan guru bahasa inggrisnya sekalipun kami mendapat kesulitan. Bahkan komunikasi rasanya lebih lancar dengan murid murid SMA saya ketika masih di Tangerang ketimbang dengan orang orang sini sekalipun mereka guru bahasa inggris. Jadilah saya berkomunikasi dengan teman kamar menggunakan bahasa melayu.

Setelah seminggu saya secara langsung masuk ke semua kelas sebanyak 16 kelas (16 jam dengan durasi 60 menit/jam), saya juga teman menyimpulkan mereka mengalami kesulitan dengan pengucapan huruf L, G, R, dan V. Dan berujung bermasalah dengan pengucapan semua kata yang memiliki komponen huruf huruf tersebut. Hal ini disebabkan mereka memang tidak memiliki huruf huruf tersebut dalam pembendaharaan kosa kata pengucapan mereka. 

Sejenak, kami merenung betapa beruntungnya orang orang Indonesia karena kita memiliki alphabet lengkap sehingga hendak belajar bahasa apa pun kita tidak memiliki masalah pengucapan yang begitu berat. Tidak begitu berat bukan berati tidak ada, karena sepanjang pengalaman saya bertemu murid murid di Ina, kita memiliki kesulitan dalam mengucapkan konsonan T di akhir yang digabungkan dengan konsonan lainnya. Pengucapan phonem "th" pun cukup sulit. Serta membunyikan huruf R yang terlalu jelas. Hal ini karena perbedaan phonetic di bahasa inggris dan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, tetap saja mengajar di Ina jauh lebih ringan daripada di sini. Jika dikatakan karena saya berada di sekolah kampung belum tentu benar juga, karena teman saya yang mendapat amanah di sekolah kota pun (dekat dengan phuket) kesulitan berkomunikasi bahasa inggris dengan siapapun kecuali dengan native speaker dari negara eropa yang berada bersamanya di sekolah tersebut.

Untuk orang orang di sini (tak hanya para murid), mereka mengucapkan L dan V menjadi W dalam 
bahasa inggris, serta huruf G menjadi K, dan huruf R terkadang menjadi L atau bahkan hilang dan J 
menjadi C untuk bahasa melayu. Sehingga mengucapkan pencil menjadi pensiu atau twelve menjadi twefiu, serta gajah menjadi kacah. Memang menjadi sangat sulit dalam mengajarnya, namun hal hal tersebut sangat menghibur kami di sini yang semoga menjadi alat membantu kami supaya kerasan, mungkin lebih tepatnya untuk saya karena teman saya sudah sangat betah di sini bahkan dia bilang lebih nyaman daripada tinggal di Ina. Ketika sedang rehat mengajar, hal hal itulah yang menjadi bahan tertawa kami tanpa maksud menjadi bahan meledek mereka. Sungguh hal yang sangat baru bagi kami. Dan saya sangat bersyukur Allah mempertemukan pengalaman ini pada saya. Pengalaman yang baru sekaligus berat tapi saya belajar banyak untuk hal tersebut. Saya jadi teringat dengan Mr.Keith yakni native speaker dari Inggris di sekolah saya sebelumnya di daerah Tangerang. Ternyata sangat berat menjadi seperti beliau, ketika di kelas kita sama sama tidak paham dengan apa yang kita ucapkan.

Terlepas dari teoritikal tersebut. Saya terpikir ternyata psikologi perkembangan anak dimana saja sama. Karena sepanjang saya dianugrahi pengalaman mengajar, karakter murid murid setiap tingkatan memang sama. Misalnya kelas satu SD di Ina dan sini sama saja, mereka yang suka berkeliaran, mengadu ngadu tentang kondisi mereka, menangis, serta memeluk kita dengan penuh senyum dan keluguan. Yang membedakan hanya bahasa mereka yang benar benar tidak saya pahami satu kata pun kecuali yang terkait dengan angka angka (karena sejauh ini saya baru mahir dengan menghitung dalam bahasa Thai). Anak anak SMP pun tak jauh beda, mereka dengan kondisinya yang beranjak puber cukup merepotkan dengan watak yang hobi berbicara di kelas, ceplas ceplos, juga sesekali menunjukkan sikap tidak baiknya di kelas. sebenarnya semua itu bukan menjadi masalah bagi kami, hanya saja kami tidak tahu cara mengungkapkan disiplin kami dalam bahasa thai. Namun semoga seiring waktu masalah tersebut bisa kami atasi perlahan. Semoga.

Sebenarnya saya sangat bersyukur karena Allah memberikan saya pengalaman hingga sejauh ini. Dia amanahkan saya merasakan mengajar di berbagai tingkatan dari TK hingga universitas, serta sekolah 
formal dan nonformal. Mungkin karena itulah Dia kembali berikan saya amanah untuk mendapatkan pengalaman merasakan menjadi native speaker. Subhanallah... Apapun itu saya hanya perlu bersyukur karena Dia telah memberikan banyak untuk saya. Lagi pula saya hanya ingin menjadi seperti apa yang telah dituliskan dalam ayat Nya bahwa siapa yang bersyukur maka Dia akan menambah kenikmatan Nya begitu pula sebaliknya. Dan kini, hanya satu yang tetap perlu saya 
pegang dan yakini serta diseriusi yakni teaching is fun and whenever it is.

Langu, Satun Province
Sat, July 05 '14
17.07

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan 2: Website penunjang kualitas diri "ibupedia.com"

Hari ini adalah hari belajar tentang per-ASI-an bagi saya. Hal ini tentu saja didasari dengan perubahan status sebagai ibu sejak 22 hari yang lalu. Saran dari banyak orang sering kali beragam, maka diperlukan juga waktu bagi diri untuk mencari referensi sendiri. Maka untuk hari saya dan suami menjadi orang tua pembelajar melalui salah satu website bagi banyak orang tua muda yakni  ibupedia.com .  Website tersebut banyak sekali menyajikan info-info terkait dunia kehamilan dan pengasuhan. Disajikan dengan bahasa ringan dan website yang menarik (karena didominasi warna pastel yang saya suka, he'eh) yang tentu saja sangat berguna bagi para orang tua terutama ibu yang sedang menjalani proses kehamilan, karena bahwasannya ada banyak pengetahuan penting tentang mengurus anak sejak hamil, melahirkan, dan setelahnya. Bagi seorang ibu muda yang baru memiliki anak pertama seperti saya, info-info tersebut sangatlah diperlukan. Bagi yang sudah memiliki anak lebih dari satu pun tetap berguna

Bunda, Dalam Untaian Cahaya...

Ku tatap penuh keletihan pada tubuh paruh baya mu, Ku tatap penuh rindu pada raut wajahmu nan mulai berkerut, ku tatap penuh cinta pada punggung tangan mu yang tiada bosan memperkerjakannya, Ku tatap penuh haru pada jiwa mu yang tersimpan retak-retak kehidupan, Dalam ucap, teruntai setiap kasih Dalam tatap, teruntai setiap cinta Dalam peluh, teruntai setiap keikhlasan Dalam hangat, teruntai setiap pengorbanan Pada fajar, teralir air mata Pada mentari, teriring doa Pada surya, tergapai pengharapan Pada gelap, tersimpan keindahan Dengan rintihan, tergambar kepercayaan Dengan amarah, tersampaikan harapan Dengan kelembutan, tercurahkan kehangatan Dengan air mata, teriring kecintaan "Ungkapan yang terkadang tersembunyikan pada seseorang yang terhebat dalam hidup ini, Ibu, dalam setiap peluh mu, kau ajarkan arti sebuah cinta penuh pengorbanan tanpa balas. Terima kasih untuk mu yang tidak pernah berhenti... Nantikan aku di setiap wujud dalam doa mu... Dengan panuh ketulusan, ku sangat me

Day 8: Bintang dalam diri kita

Masih berlanjut tentang bintang dalam diri kita. Untuk bintang ketiga saya ini adalah bintang yang lebih dahulu bersinar dari yang lainnya, meski pada akhirnya kini menjadi bintang yang paling redup karena tertutupi dengan fokus pada kegiatan harian dan segala projeknya. Padahal, jika ditekuni lebih dalam dan serius, maka mungkin saja bisa menjadi tambahan profesi baru saya. Hand-crafting, ya itulah hal yang dapat membuat saya berbinar-binar jika sedang bersamanya. Proses menemukannya paling unik karena saya sendiri kurang begitu mengingat detailnya. Namun cerita dari banyak keluarga, saya mendapatkan gambaran bahwa saya memang sudah menyenangi hal-hal yang sifatnya membutuhkan keahlian tangan sejak kecil. Sepanjang ingatan saya, pelajaran seni, terutama seni rupa, adalah pelajaran yang selalu paling saya suka sejak sekolah dasar. Maka, tak heran jika usia SD saja saya sudah bisa membuat sapu tangan sulam, bahkan beberapa baju seringkali saya modifikasi sendiri, seringnya adalah m